Subscribe to my full feed.

5.05.2008

Pengusaha = Pengangguran??

Duuhh, ngapain sih buka usaha? Setiap hari seperti pengangguran. Kalau mau profesional ya harusnya itu di kantoran. Bukan dengan dagang. Sayang kan kamu sekolah tinggi-tinggi cuma jadi pedagang. Lagian ngapain sih malah berhenti dari kantor kamu, padahal udah enak
gitu!” Celoteh Rani kepada adiknya yang memutuskan menjadi pengusaha dibandingkan bekerja di kantor.
Penggalan pembicaraan antara Rani dan adiknya diatas merupakan salah satu bentuk pola pikir yang masih membelenggu sebagian besar masyarakat di Indonesia saat ini. Walaupun era perekonomian dan keterbukaan peluang bisnis sudah mulai menampakkan giginya, ternyata hal tersebut belum dapat merubah cara pandang sebagian besar masyrakat.
Banyak orang ketika melihat sosok pengusaha, langsung menembak ketika orang tersebut telah berhasil. Misalnya membandingkan pengusaha yang baru merangkak seperti pengangguran dan tidak sukses. Sedangkan pengusaha sukses ya seperti Sampoerna & Microsoft misalnya. Padahal mereka sama sekali tidak mau membuka mata melihat siapa tokoh dibalik kesuksesan perusahaan-perusahaan besar dan raksasa ini. Kerja keras dan perjuangan yang dimulai dari nol. Dari menjual lintingan tembakau sampai bekerja keras dahulu di perusahaan Apple (seperti Bill Gates) sambil mengumpulkan keberanian dan menunggu momentum yang tepat untuk memutuskan membuat usaha sendiri. Hasilnya? Bisa dilihat bersama dan kita nikmati bersama kejayaannya bukan.
Ternyata doktrin jaman dahulu yang selalu mengelu-elukan dari jaman sekolah dasar, bahwa kalau sudah lulus sekolah ya cari kerja di perusahaan bonafit. Mungkin tidak ada yang pernah mengajari kita sejak dini untuk mendorong menjadi pengusaha sesuai kemampuan dan apa yang kita senangi. Misalnya, anak yang sejak dini sudah sangat senang melukis, justru tidak didorong untuk mengembangkan bakatnya tersebut. Malahan tetap didorong untuk melanjutkan sekolah jurusan ekonomi, dan bekerja di sebuah bank. ironis bukan. Sementara dengan keahliannya, bila diteruskan dan dikembangkan semaksimal mungkin, ia bisa membuka galeri seni dan sekolah melukis. Ujung-ujungnya, pengusaha tidak memiliki arti dibandingkan dengan menjadi pekerja kantoran.
Kalau boleh jujur, saya pribadi sangatlah menentang pendapat Rani yang menentang adiknya sendiri untuk tidak menjadi pengusaha. Ketidakbanggaan yang dimunculkan Rani sangatlah subyektif tidak mendasar. Profesi hanya dikaitkan dengan menjadi pekerja kantoran. Padahal saat ini tidak sedikit lho pekerja kantoran ingin menjadi pengusaha. Hanya saja masih banyak kendala yang mereka hadapi. Salah satunya ya komentar-komentar miring dari keluarga, teman dekat, sahabat. Ya…seperti Rani diatas.
Padahal, seorang pengusaha adalah seseorang pemberani. Lho, kenapa? Ya, karena dengan keluar dari belenggu image “kantoran” yang selalu aman karena setiap bulan dapat penghasilan, para pemberani ini justru mengambil tanggung jawab yang lebih besar lagi. Pengusaha tidak bisa hanya memikirkan perutnya sendiri ataupun keluarganya saja. Ia harus turut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup banyak orang yang mendukungnya (dalam artian pegawainya). Dan tidak mudah lho menjadi seorang pengusaha. Karena tuntutan yang paling utama adalah bagaimana usahanya itu terus berputar bahkan setiap detiknya. Waktu begitu terasa sempit dan sangat berharga. Sedangkan karyawan, terkadang masih bisa tidak ada kerjaan.
Nah, semua kembali pada diri kita dan sudut pandang kita melihat segala sesuatu. Jika Anda tidak membuka kacamata kuda Anda, maka Anda tidak akan berkembang mengikuti kemajuan jaman. Anda akan tertinggal, dan menjadi orang-orang berfikiran sempit.
Sehingga apapun latar belakang Anda, mari kita belajar dan terus belajar. Melihat segala sesuatu dengan keterbukaan. Profesi tidak melulu pekerja kantoran. Sekolah tinggi bukan menjadi tolok ukur seseorang dinilai cerdas. Hanya perpaduan kerja keras, keuletan, pengalaman dan keberanianlah yang menentukan kesuksesan seseorang.
Mari bersama mencapai sukses!